BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hubungan
bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para Filosof bahkan
sejak zaman Yunani. Para Filosof mengetahui bahwa berbagai macam problema
filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh:
problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran,
kewajiban, hakekat ada (Metafisika) dan pertanyaan-pertanyaan fundamental
lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi
inilah oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang
berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX.[1]
Analitika
bahasa adalah suatu metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan,
menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Secara garis
besar, filsafat bahasa ini terbagi dalam tiga aliran yang pokok, yaitu:
Atomisme logis, Positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.[2]
Didalam pembahasan pada
makalah kami ini, pembahasan
difokuskan kepada aliran filsafat bahasa yang bercorak Atomisme logis, untuk lebih
jelasnya tentang atomisme logis, mari kita seksama membahas pada makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Didalam
makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1. Pengertian Atomisme logis
2. Filsafat Atomisme logis Bertrand
Russell
C. Tujuan
Pembahasan
Adapun
tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1. Pengertian Atomisme logis.
2. Filsafat Atomisme logis Bertrand
Russell.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Atomisme Logis
Kata Atom mempunyai arti “benda terkecil, satuan
bangunan yang tidak dapat dimusnahkan”(Aristoteles). Kata Atomisme
merupakan turunan dari kata Yunani Atomos yang berarti tidak dapat
dipenggal, A adalah tidak sedangkan Tomos merupakan sekawanan
dari bahasa Yunani Themnein yang artinya memenggal.[3]
Atomisme Logis, merupakan suatu faham atau ajaran yang berpandangan bahwa
bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi-
proposisi elementer, melalui teknik analisa logik atau analisa bahasa. Setiap proposisi atomik atau
proposisi elementer itu tadi mengacu pada atau mengungkapkan keperibadian suatu
fakta atomik yaitu bagian terkecil dari realitas. Dengan pandangan yang
demikian itu, kaum Atomisme Logis bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang
mutlak antara bahasa dengan realitas. [4]
Atomisme
logis yang berpusat di Cambridge, Inggris dirintis oleh ‘tiga serangkai’ G.E.
Moore (1873-1958), Bertrand Russell (1872-1979), dan Ludwid Wittgenstein
(1889-1951). Walaupun pemikiran atomisme logis sebenarnya telah dikembangkan
oleh Ludwig Wittgenstein dalam karyanya “Tractatus Logico Philosophicus”,
namun nama dari aliran ‘atomisme logis’ ini pertama kali dikemukakan oleh
Bertrand Russell dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam “Contemporary
British Philosophy” yang terbit pada tahun 1924. Nama atomisme logis yang digunakan
oleh Bertrand Russell menunjukkan pengaruh dari David Hume dalam karyanya “An
Enguiry Concerning Human Understanding”.
Pemikiran
filsafat di Inggris sebelum Bertrand Russell dikuasasi oleh tradisi idealisme
sehingga dapat pula dikatakan bahwa filsafat atomisme yang dikembangkan oleh
Bertrand Russell seorang penganut empirisme yang pikirannya sangat dipengaruhi
oleh John Lock dan David Hume merupakan reaksi keras terhadap aliran idealisme.
Bagi kalangan empirisme, seperti David Hume misalnya, mengungkapkan bahwa semua
ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang atomis
(atomic ideas) yang merupakan ide yang sederhana. Menurut Hume, seorang
filsuf itu hendaknya melaksanakan analisis psikologi terhadap ide. Dari sinilah
bermula perbedaan pemikiran antara Bertrand Russell dan David Hume.
Menurut Bertrand Russell, analisis itu bukan pada aspek psikologis namun
dilakukan terhadap proposisi-proposisi.[5]
Perkembangan
pemikiran atomisme logis ini juga dipengruhi oleh F.H. Bradley dalam
hubungannya dengan formulasi logika proposisi, juga oleh G. E. Moore yang
menekankan pada ciri analisisnya. Bradley mengungkap kelemahan empirisme yang
bersifat psikologis yang hanya bekerja dengan ide-ide dan bukan berdasarkan
pada suatu putusan (judgements) atau keterangan-ketarangan (propositions).
Dasar inilah yang kemudian diangkat oleh Russell demi prinsip-prinsip
analisisnya yaitu yang berdasarkan pada suatu putusan. Sedangkan Moore
memberikan analisis proposisi filsafat berdasarkan akal sehat, bagi Moore,
bahasa sehari-hari (alamiah) telah memadai untuk menganalisis persoalan
kefilsafatan. [6] Inilah yang menyebabkan
Bertrand Russell mencari kebenaran melalui penggunaan analisis dan sintesa
logis. Hal ini mengandung pengertian bahwa untuk mendapatkan suatu kebenaran
dilakukan dengan mengajukan alasan-alasan yang bersifat apriori yang
tepat, selanjutnya diikuti dengan pengamatan empiris melalui indera
(aposteriori). Bertrand Russell ingin membangun bahasa yang mampu mengungkap
realitas, yang berdasarkan formulasi logika, yakni bahasa yang mampu
mengungkapkan suatu realitas fakta yang bersifat akurat.
B. Bertrand Russell dan Pemikirannya
1. Sekilas Biografi Bertrand Russell
Bernama
lengkap Bertrand Arthur William Russell, lahir di Monmouthshire, Inggris pada
tanggal 18 Mei 1872 dari keluarga bangsawan. Pada usia 2 tahun Beliau
kehilangan ibunya dan berselang 2 tahun kemudian Beliau kehilangan ayahnya.
Maka setelah kematian yang berturut-turut ini, Beliau tinggal bersama dengan
orang tua ayahnya.[7]
Bertrand
Russell menempuh pendidikan di bidang ilmu pasti dan filsafat di Universitas
Cambridge, gurunya diantaranya Alfred North Whitehead dan di Cambridge Beliau
bertemu dengan George Edward Moore yang kemudian menjadi sahabatnya. Selama
hidupnya Beliau sangat produktif dalam menulis buku, kurang lebih 71 buku dan
brosur, yang membahas tentang berbagai macam permasalaham mulai dari filsafat,
pendidikan masalah moral, agama, sejarah, dan politik. [8]
Pada tahun
1970 Russell meninggal dunia, dan seluruh bukunya diwariskan pada Universitas
McMaster, Hamilton, Ontario, Kanada yang Beliau gabungkan sendiri ke dalam The
Collected Papers of Bertrand Russell sebanyak 14 jilid ditambah Bibliography
sebanyak 3 jilid.
Berikut
ini beberapa karya Bertrand Russell lainnya, seperti The Analysis of Mind (1921),
The Analysis of Matter (1927) dan juga Human Knowledge, Its Scope and
Limits (1948). Buku yang juga cukup terkenal adalah A History of Western
Philosophy (1945).[9]
2. Filsafat Atomisme Logis Bertrand Russel
Pada
mulanya Russel mengikuti garis pemikiran Moore sebagai upaya untuk menentang
pengaruh kaum Hegelian di Inggris dengan bertitik tolak pada akal sehat (common
sense). Namun dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, Russel mengambil jalan
yang berbeda dengan jalan yang ditempuh Moore. Bagi Russel penggunaan bahasa
biasa bagi maksud filsafat sebagaimana yang diinginkan Moore, tidaklah tepat.
Sebab Russell tidak sekedar bermaksud mengarahkan teknik analisa yang diajukan
oleh Moore itu untuk menentang ungkapan kosong dari kaum Hegelian, akan tetapi
Russel dengan mencoba untuk membentuk filsafat yang bercorak ilmiah dengan cara
“menerapkan metode ilmiah pada filsafat” oleh karena itu ia menegaskan:
“Dalam percobaan yang dilakukan
secara serius, tidaklah selayaknya kita tempuh dengan menggunakan bahasa biasa,
sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk, juga bermakna ganda arti. Oleh
karena itu saya bermaksud meyakinkan bahwa sikap bersikeras atau kepala batu
untuk tetap menggunakan bahasa biasa dalam mengungkapkan pemikiran kita adalah
penghalang besar bagi kemajuan filsafat.”
Oleh sebab
itu tidak heran jika Russel menentukan titik tolak pemikirannya berdasarkan
bahasa logika. Sebab ia berkeyakinan bahwa teknik analisa yang didasarkan pada
bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas.
Analisa
logis ini mengandung pengertian, suatu upaya untuk mengajukan alasan apriori
yang tepat bagi pernyataan, sedangkan sintesa logis berarti menentukan makna
pernyataan atas dasar empirik. Dengan cara yang demikian, Russell menerapkan
teknik analisa bahasa untuk memecahkan masalah filsafat. Namun Russel lebih
mendahulukan analisa logis dari pada sintesa logis, karena teori yang melulu
bersifat empirik (didasarkan atas fakta) tidak dapat menjangkau hal-hal yang
bersifat universal. Bagi Russell kebenaran bersifat logis dan matematis yang
diungkapkan dalam analisa logis “meyakinkan kita untuk mengakui keperibadian
sifat-sifat ‘universal’ yang tak terubahkan, padahal banyak teori yang bersifat
empiris murni tidak dapat
mempertanggungjawabkan hal seperti itu.”
Oleh
karena itu Russel menganjurkan kita untuk mencari teori ilmu pengetahuan yang
lain dari pada empiris
murni. Pandangan yang demikian inilah agaknya membuat Russell lebih semangat untuk membentuk
bahasa yang ideal bagi filsafat dengan didasarkan pada bentuk logika atau
disebut dengan bahasa logika.
Hal ini
tersimpul dalam ucapannya yang berbunyi: “Yang menyebabkan saya menamakan
doktrin Atomisme Logis ialah karena atom-atom yang ingin saya peroleh sebagai
hasil dari analisa terakhir bukan merupakan atom fisik, melainkan atom logis”.[10]
A. Formulasi Logika Bahasa
Prinsip analisis yang diciptakan oleh Russell dalam
konsep atomisme logisnya memiliki konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa
yang memiliki formulasi logis, atau dengan lain perkataan perlu ditentukan
formulasi logis dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum tentu
menentukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa.[11]
Dengan
bertitik-tolak pada
bahasa logika, Russell
bermaksud menentukan corak logis yang terkandung dalam suatu ungkapan. Russell mensinyalir adanya perbedaan corak
logis melalui perbandingan antara dua
kalimat yang struktur bahasanya sama, namun memiliki struktur logis yang berbeda. Penjelasan Russell mengenai suatu pengertian atau
suatu istilah yang memiliki corak logis yang sama diungkapkannya melalui contoh berikut: A dan B
hanya dapat dikatakan memiliki corak logis yang sama, jika unsur A mengandung kesesuaian dengan unsur
B, sehingga akibat yang berlaku atau lawan bagi B dapat digantikan pada A. kita
ambil suatu taswir, Socrates dan Aristoteles memiliki corak yang sama, sebab
“Socrates adalah seorang filsuf” dan “Aristoteles seorang filsuf”, keduanya mengandung fakta yang
sama (sama-sama filsuf).
Dua
istilah yang dianggap memiliki corak logis yang sama bukan lantaran istilah tersebut dipandang menurut
berbagai penafsiran yang mungkin dikenal bagi istilah itu. Tetapi yang lebih
ditonjolkan disini adalah aspek logis yang didukung oleh fakta tertentu, sehingga kita dapat
menarik kesimpulan yang logis pula bagi istilah yang diperbandingkan. Jadi kalau
dikatakan “Socrates” dan “Aristoteles” adalah dua nama yang memiliki corak logis yang sama, kesimpulan itu
didasarkan pada kenyataan bahwa keduanya termasuk atau digolongkan pada kedalam
kelas filsuf.[12]
Melalui formulasi logis ini, russell telah mampu
memecahkan sejumlah paradoks yang telah membingungkan para filsuf Yunani.
Misalnya, sifat yang diberikan kepada Epimenedes, seorang warga masyarakat
Kreta, sebagai seorang pembohong. Jika ia mengatakan “semua orang kreta itu
pembohong”, padahal dia sendiri adalah warga kreta, berarti pernyataan itu
adalah bohong dan oleh sebab itu pernyataan itu dapat disimpulkan salah. [13]
contoh ini, menurut Russell adalah suatu kelas propoposi, keterangannya bukan
suatu anggota dari kelas proposisi itu, sebab keterangan itu merupakan suatu
proposisi dari kelas yang lebih tinggi.[14]
Bentuk-bentuk pernyataan yang bersifat paradoks itu
berhasil diatasi oleh Russell dengan membedakan antara semua unsur yang
termasuk ke dalam suatu himpunan, sebagai suatu yang tidak dengan sendirinya
merupakan suatu himpunan itu sendiri.[15]
Sebagai contoh, jika dikatakan bahwa Newton dan Einstein termasuk
Anggota atau unsur dari himpunan “Ilmuwan fisika”, maka itu tidak berati kelas
“ilmuwan fisika” itu sendiri merupakan seorang ilmuwan fisika. Sebab kelas
“ilmuwan fisika” lebih tinggi tingkatannya dari pada seorang ilmuwan fisika,
sehingga masing-masing terletak pada jenis hierarki yang berbeda pula. Jadi
kalau dikatakan, Newton dan Einstein termasuk anggota kelas “ilmuwan fisika”,
adalah benar, tetapi tidak benar kalau dikatakan “ilmuwan fisika” merupakan
anggota kelas dari “ilmuawan fisika” itu sendiri. Ungkapan seperti ini tidak
dapat diterima oleh akal sehat.[16]
B.
Prinsip Isomorfi (Kesepadanan)
Menurut
Russell, analisis harus didasarkan pada struktur logika, sehingga analisisi
dilakukan dengan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dalam
pengertian ini Russell menampakkan konsep pemikirannya yang cemerlang, yaitu ia
ingin menganalisis hakikat realitas dunia melalui analisis logis, karena hal
ini berdasarkan pada kebenaran apriori yang universal yang bersumber
pada rasio manusia. Adapun sintesa logis merupakan metode untuk mendapatkan
kebenaran pengetahuan melalui pengetahuan empiris (pengalaman inderawi) yang
bersifat aposteriori. [17]
Menurut
Russell analisa bahasa yang benar itu dapat
menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang dunia, karena unsur paling
kecil dari bahasa (proposisi atomik) merupakan gambaran unsur paling kecil dari
dunia fakta (fakta atomik) atau ada isomorfi (kesepadanan) antara unsur bahasa
dan kenyataan. Prinsip isomorfi ini berkaitan berkaitan erat dengan dasar acuan
bagi suatu kata atau ungkapan. Dengan memberikan dasar acuan itu Russell
menganggap telah “mengisi” setiap pernyataan dengan fakta.
Untuk
memperoleh gambaran yang jelas tentang pemberian dasar acuan(reference)
bagi kata atau istilah sebagai unsur-unsur bahasa itu, kita
dapat melihat pada pengelompokan berikut:
Ø Nama Diri; yaitu jenis-jenis kata yang mengacu pada nama
pengganti diri atau sesuatu yang ditunjuk oleh nama diri tersebut. Misalnya; si
Badu, jawa, kuda.
Ø Nama Diri Logik; yaitu jenis-jenis kata deiktik atau
jenis-jenis kata yang mempunyai acuan lebih dari satu yang arti atau maknanya
sangat tergantung pada si penutur atau situasi penuturannya. Misalnya; jenis kata petunjuk, “ini”, “itu”,
dan jenis kata ganti, “aku”, “dia”, “engkau”.
Ø Pemerian batas penunggal; yaitu
rangkaian kata(gatra) yang mengacu pada seseorang atau sesuatu menurut batasan
yang telah ditentukan dalam pemerian tersebut. Contoh: “Pemenang piala Dunia Sepak Bola 1998 di Perancis”.
Pemerian ini mengacu kepada Kesebelasan Perancis.
Uraian
mengenai pemberian dasar acuan terhadap kata atau atau istilah ini merupakan
salah satu upaya Russell untuk membuktikan adanya kesepadanan atau kesesuaian
antara unsur bahasa dengan unsur realitas.
Sehubungan
dengan prinsip isomorfi adalah, kecenderungan pandangan Russell kearah
metafisika. Sebab “mengatakan
bahwa dunia dapat diasalkan kepada fakta atomik, jelas sekali merupakan suatu
pendapat metafisik.” Inilah sesungguhnya tujuan utama yang terkandung dalam
prinsip isomorfi itu. Metafisika yang terdapat dalam teori Russell ini
merupakan suatu “Pluralisme radikal”, sebab realitas atau dunia fakta itu
dipecah menjadi fakta atomik. Corak pandangan metafisik yang didasarkan atas
analisa bahasa ini merupakan ciri khas yang menandai
kaum Atomisme Logis,
dan kelak akan diperkuat oleh Wittgenstein.[18]
C.
Struktur Proposisi; Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk
Pembahasan
Russel mengenai Proposisi Atomik dan Proposisi majemuk berkaitan erat dengan
upayanya untuk menjelaskan kesepadanan antara struktur bahasa dengan struktur
realitas. Sebab bahasa yang dianggap sebagai keseluruhan dari proposisi atomis tidak hanya mengacu pada fakta
atomi yang merupakan unsur yang membentuk realitas, tetapi bahasa itu juga
merupakan “lahan” yang akan dikerjakan melalui teknik analisa logis. Bahasa, khususnya bahasa filsafat
dapat mencerminkan realitas sejauh dapat dilakukan analisa logis yang diikuti dengan sintesa logis, sehingga diperoleh proposisi yang
paling sederhana yang mengacu pada fakta yang paling sederhana pula, fakta
atomis yaitu proposisi atomis. Setiap proposisi itu pada
hakikatnya mengacu pada dua hal yaitu “data inderawi (particularia) yang
merupakan hasil persepsi kongkrit individual, dan sifat atau hubungan (universalia) dari
data inderawi itu tadi.” Ia membedakan dua jenis proposisi, atomis dan majemuk, kebenaran atau
kekeliruan proposisi majemuk ditentukan oleh kebenaran atau kekeliruan
proposisi atomis
yang kedalamnya proposisi tersebut dapat dianalisa, sementara kebenaran
proposisi atomis
ditentukan dengan merujuk pada fakta yang digambarkannya.
Menurut
Russell, suatu proposisi (dapat bernilai
benar atau salah) yang menjelaskan suatu fakta atomis itu dinamakan Proposisi atomis. Proposisi atomis ini merupakan bentuk proposisi yang
paling sederhana, karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk.
Misalnya: x adalah yang (ini adalah putih) atau xRy (ini berdiri disamping
itu). Setiap proposisi atomik itu mempunyai arti atau makna sendiri-sendiri
yang terpisah satu sama lain. Dengan memberikan kata penghubung seperti “dan”
atau “atau”, maka kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk. Russell mengajukan contoh untuk menjelaskan
proposisis atomis
dan proposisi majemuk itu seperti berikut:
“Socrates
adalah seorang warga Athena yang bijaksana. Ini merupakan proposisi majemuk
yang terdiri dari dua fakta atomik, yaitu:
1. Socrates adalah seorang warga Athena, dan
2. Socrates adalah seorang yang bijaksana”.
Kedua proposisi atomik itu membentuk proposisi majemuk setelah dihubungkan dengan kata “yang”.
1. Socrates adalah seorang warga Athena, dan
2. Socrates adalah seorang yang bijaksana”.
Kedua proposisi atomik itu membentuk proposisi majemuk setelah dihubungkan dengan kata “yang”.
Menurut
Russell , kebenaran atau ketidakbenaran
suatu proposisi molekuler atau proposisi majemuk ini tergantung pada kebenaran
atau ketidakbenaran proposisi atomis yang terdapat didalamnya. Atau dengan kata lain proposisi
majemuk itu merupakan, “fungsi kebenaran” dari proposisi-proposisi atomis. Sebab tidak ada fakta majemuk yang
ada halnya dengan fakta atomis.[19]
Selain fakta-fakta atomis yang diungkapkan melalui
proposisi atomis, juga terdapat pegertian “fakta-fakta umum” yang kebenarannya
berdasarkan fakta-fakta yang secara umum diketahui benar. Misalnya proposisi
“semua orang akan mati” ini bukanlah berdasar pada fakta atomis misalnya “A
akan mati”, “B akan Mati” dan seterusnya, melainkan berdasarkan suatu fakta
umum. Selain itu, Russel juga menerima pengertian fakta-fakta negatif, sebab
hal itulah satu-satunya cara untuk menerangkan benar atau tidaknya suatu proposisi
negatif. Misalnya, “tidak ada kuda yang berkepala lima”. Proposisi ini benar
atau tidak hanya berdasarkan fakta.
Demikian juga Russel mengakui tentang fakta-fakta khusus,
misalnya “Jhon beranggapan bahwa bumi itu datar”. Bila dipahami secara formal
seakan-akan proposisi itu majemuk. Kebenaran proposisi itu tidak bergantung
pada benar atau tidaknya “bumi itu datar” melainkan pada suatu fakta khusus.[20]
[2] Kaelan, Filsafat
Bahasa Semiotika Dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2009),H. 72-73
[4] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), H.
44
[5] Kaelan, Filsafat
Bahasa Semiotika Dan Hermeneutika,….. H. 74-75
[9] Dwi Putri Rahmawati, Bertrand Russel - Logika Sebagai Esensi Dari
Filsafat, http://depewblew2dutz.blogspot.com/2014/04/.
[10] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik….., H. 46-49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar